Dalam sepuluh, duapuluh atau limapuluh tahun, mereka akan berbicara untuk mengenang drama memilukan bahwa Selecao, pada 2014 di semifinal Piala Dunia, kalah dari Jerman 1-7 di hadapan publik sendiri
Jakarta (ANTARA News) - Kebobolan tujuh gol dan memasukkan satu gol di ajang Semifinal Piala Dunia 2014 di Estadio Mineirao, Belo Horizonte, memunculkan kenangan tak terlupakan.

Brasil digunduli Jerman 1-7 di hadapan publik sendiri dengan menyisakan torehan sejarah bahwa kekalahan, kebangkrutan, dan kebohongan hanya bisa dilihat dengan mata, bukan cupa-cuap di mimbar agar direspons dengan tepuk tangan.

Hati siapa yang tidak tercabik setelah menyaksikan bahwa empat gol Der Panzer dilesakkan dalam kurun waktu enam menit antara menit ke-23 hingga menit ke-29.

Penjaga gawang berpengalaman Julio Cesar hanya bisa membuka tangan hendak melukiskan galau hatinya seakan hendak mengatakan, "Bagaimana semuanya ini bisa terjadi?"

Dan kapten Selecao, David Luis yang berkostum nomor empat, diambil gambarnya oleh juru foto, sedang berlutut kemudian menundukkan kepala ke hamparan rumput hijau, sementara salah seorang pemain Jerman, Mesut Oezil yang bernomor punggung delapan tampak berdiri dan mengarahkan pandangan kepada bek timnas Brasil itu.

Ekspresi kontras yang diekspresikan oleh kedua pemain itu menerakan dua bobot kebenaran, sebagai lawan dari kebohongan, bahwa Brasil mengalami kekalahan paling memalukan  setelah Maracana di tahun 1950, atau yang kerapkali disebut sebagai Maracanazo.

Bobot kedua, Brasil menuai kegagalan menjadi juara saat menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Maracanazo merujuk kepada kekalahan Brasil dari Uurguay pada laga penentuan Juara Piala Dunia 1950, yang dihelat di negeri Samba.

Tampil penuh percaya diri di Stadion Maracana dengan didukung lebih dari 100 ribu penonton, justru tim tuan rumah menelan kekalahan 1-2. Waktu itu, fans tuan rumah menyaksikan sebuah kebenaran bahwa tim kesayangan mereka bertekuk lutut di hadapan pasukan Uruguay.  

Mineirazo mengacu kepada tragedi bahwa di semifinal, di hadapan bandul sejarah dunia, skuad asuhan pelatih Luiz Felipe Scolari dibantai skuad asuhan Joachim Loew dengan skor 1 - 7. Ya, satu gol dicetak tim Brasil, dan tujuh gol dijaringkan tim Jerman.

Baik Maracanazo maupun Mineirazo sama-sama mengekakalkan dogma bahwa segala hal yang disebut sebagai kebenaran, karena segala sesuatunya dapat dikenal dengan menggunakan mata sebagai indera penglihatan.

Yang tidak dapat dilihat dan disaksikan dengan mata hanya pantas disebut sebagai hantu, sihir, dan tenung. Penyihir dan penenung, dalam kamus fenomenologi agama, mewakili sebuah konspirasi bersama dengan hantu atau kekuatan yang berkekuatan jahat.

Apakah Maracanazo dan Minerazo dapat disebut sebagai hantu? Ya, karena kedua drama tragis itu menghantui perjalanan sejarah Brasil dan menenung ziarah anak cucu mereka bahwa kekalahan itu begitu memalukan dan meninggalkan aib dalam sepuluh sampai duapuluh tahun ke depan.

Secara kelakar saja, mereka yang suka berbohong dengan menggunakan kata-kata dapat disebut sebagai hantu bagi sesama.

Secara guyonan saja, mereka yang suka berdusta sama saja mengubah bahkan merendahkan dirinya sebagai penenung. Inilah salah satu butir pemaknaan dari Maracanazo dan Minerazo.

Publik menuntut kebenaran dari dua drama tragis sepak bola yang menimpa Selecao. Dengan menggunakan akal budi, bukan justru dengan menggunakan energi sihir atau tenung, maka akal budi manusia bersifat tanpa batas. Implikasinya, mereka yang suka membelenggu dan membatasi cakrawala akal budi pantas menerima predikat sebagai hantu!

Ujaran lugasnya, bahwa ada hantu dalam pikiran mereka yang suka berkata tidak jujur. Ujaran populernya, sepak bola mengajar  bahwa segala kekalahan dan kemenangan justru menyatakan diri dalam kecermatan menggunakan akal budi.

Rakyat Brasil tidak ingin terus dihantui oleh Maracanazo dan Mineirazo, artinya rakyat Brasil ingin menggunakan akal budinya seluas-luasnya dengan membentangkan harapan.

Rakyat Brasil memahami bahwa kenyataan disebut sebagai benar karena bersifat menyatakan diri, lawan dari menyembunyikan diri. Bukankah hantu suka sembunyi-sembunyi, sementara sepak bola menyatakan diri dalam sebuah pertandingan yang dapat disaksikan penonton di stadion.

Jangan suka berbicara sembunyi-sembunyi, karena hantu suka dengan segala hal yang sembunyi-sembunyi, begitu ujaran dari mereka yang suka memberi kata-kata bijak.

Bukankah kebohongan kerapkali diucapkan dengan sembunyi-sembunyi? Bukankah mereka yang suka berbohong kerapkali digambar sebagai sosok yang memiliki tanduk layaknya hantu?

Kini, hantu bagi rakyat Brasil merujuk kepada ujaran yang ditulis oleh kepala berita dalam harian Globo Esporte "Mereka yang tidak dirahmati dari seluruh peristiwa yang memprihatinkan."

Ujaran itu tentu merujuk kepada laga bahwa Brasil telah menelan kekalahan dari Jerman baik dari segi taktik maupun teknik. Kini, kekalahan di arena sepak bola menghantui seluruh rakyat Brasil, sementara negeri itu mengemban predikat sebagai "raja sepak bola sedunia".

Harian itu lebih lanjut menulis, "Dalam sepuluh, duapuluh atau limapuluh tahun, mereka akan berbicara untuk mengenang drama memilukan bahwa Selecao, pada 2014 di semifinal Piala Dunia, kalah dari Jerman 1-7 di hadapan publik sendiri."

Maracanazo dan Mineirazo adalah hantu bagi memori seluruh rakyat Brasil. Ini bakal diwariskan secara turun menurun. Bukan tenung, bukan sihir, bahwa hampir duaratus juta jiwa menyaksikan pemakluman dari aksi memalukan dan memilukan di turnamen empat tahunan sepak bola dunia.

Penerbitan Lance! juga menurunkan angle berita "Kekalahan paling memalukan dan memilukan dalam sejarah".  "Kekalahan yang perlu diratapi sepanjang sejarah sebagai negara sepak bola dunia." "Penistaan berbobot historis," demikian tulis Estadao, yang merujuk kepada hasil kerja Luiz Felipe Scolari atas Selecao.

Bukan tidak mungkin, karikatur dari majalah atau koran-koran Brasil bakal melukis karikatur Scolari dengan bertaring dan bertanduk. Felipao, panggilan akrab Scolari, kini dianggap sebagai dalang utama di balik kehancuran sepak bola Brasil.

Kehancuran Brasil di bawah asuhan Felipao sesungguhnya sudah diramalkan, bukan oleh aksi tenung atau sihir, sebenarnya sudah diprediksi sejumlah media justru ketika ia kembali ditunjuk oleh Konfederasi Sepak bola Brasil (CBF) sebagai pelatih pada November 2012. Waktu itu, dia menggantikan Mano Menezes.

Penunjukan Scolari itu merupakan awal dari petaka bagi Brasil. "Ia meninggalkan pemain bagis, yang seharusnya layak dipanggil dan tampil membela tim, dan membawa mereka yang semestinya ditinggalkan," kata mantan kapten Brasil saat menjuarai Piala Dunia 1970, Carlos Alberto Torres.

Scolari, yang cenderung mempercayai kebenaran bagi dirinya sendiri, lantas memanggil sebanyak 16 personel tim Selecao di Piala Dunia 2014.

Mereka memang mampu menjuarai Piala Konfederasi 2013, hanya saja masih ada sejumlah pemain yang potensial yang dapat diminta bergabung. Sebut saja, Phillipe Coutinho, Filipe Luis, Roberto Firmino, Lucas Moura, bahkan Ricky Kaka dan Ronaldinho.

Di sini Scolari cenderung mengabaikan satu fatsun, bahwa kebenaran yang satu tidak lebih benar daripada kebenaran yang lain.

Masalah benar atau tidak benar adalah masalah sesuai atau tidak sesuai dengan kenyataan. Nah, Felipao tidak beralaskan kepada kenyataan untuk mengambil keputusan, baik dalam menentukan pemain maupun dalam meracik taktik ketika melawan Jerman.

Publik Brasil mendengar dan menerima kebohongan dari Felipao setelah menyaksikan dengan mata kekalahan memalukan dan memilukan yang dialami Brasil itu. Buru-buru Scolari meminta maaf.

Ia mengatakan, "Peristiwa ini momen terburuk dalam karier saya di sepak bola. Kesalahan untuk bencana ini bisa terbagi di antara kami semua, tapi orang yang menentukan susunan pemain dan taktik adalah saya," katanya di situs FIFA.

Scolari mestinya banyak menggunakan mata, bukan justru berkutat dengan pikirannya sendiri, apalagi berkata, "pokoke ini, pokoke itu, tanpa mau mendengar dan melihat pendapat orang lain." Ini yang disebut sebagai mendengar kebenaran dengan menggunakan indera mata.

Baik Maracanazo maupun Mineirazo, menunjukkan kepada satu hal bahwa semua hal yang diputuskan dengan dipandu kata dan sikap "pokoke", berujung kepada hal yang jauh dari kebenaran. Bagaimana mau bertindak benar, bila berkata-kata saja suka berbohong.

Maracanazo dan Mineirazo adalah luka yang  tak tersembuhkan, atau dalam pepatah Latik klasik "vulnus immedicabile". Dan serigala memang bisa menukar bulu, tetapi dia tidak bisa menukar wataknya (vulpes pilum mutat, non mores).

Sekali lagi, serigala bisa menukar bulu, tetapi dia tidak bisa menukar wataknya.
(T.A024)    

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2014