Brasilia (ANTARA News) - Hanya ada tiga orang dalam sejarah yang bisa membungkam keangkeran Stadion Maracana dalam satu gerakan, yaitu Paus, Frank Sinatra dan saya.

Itulah kalimat yang keluar dari mulut Alcides Ghiggia, pemain Uruguay yang membuat seluruh Brasil dan 200.000 penonton yang memadati kiblat sepak bola itu berduka karena golnya memupus harapan tuan rumah Brasil di final Piala Dunia 1950.

Sampai saat ini warga Brasil belum bisa melupakan malapetaka itu karena kegagalan tersebut tidak hanya terjadi di hadapan pendukung sendiri, tapi, yang lebih menyakitkan, mereka sebenarnya hanya butuh hasil imbang untuk meraih gelar juara.

Kekalahan tersebut terasa semakin menyakitkan karena Brasil sedang dalam kondisi benar-benar di atas angin dan sangat difavoritkan untuk meraih gelar juara untuk pertama kalinya.

Apa yang dialami Brasil persis sama seperti yang dialami Swedia delapan tahun kemudian, ketika mereka menyerah di hadapan pendukung sendiri pada final Piala Dunia 1958, meski ketika itu sangat diunggulkan.

Sistem pertandingan Piala Dunia 1950 berbeda dengan saat ini karena waktu itu tidak ada babak sistem gugur (knock-out), tapi semacam babak empat besar dengan mempertemukan masing-masing juara grup.

Keempat tim tersebut adalah Brasil, Uruguay, Swedia dan Spanyol. Mereka kembali dipertemukan dan pemenang ditentukan melalui selisih angka kemenangan.

Seluruh rakyat Brasil sudah siap-siap berpesta menjelang pertandingan terakhir menghadapi Uruguay untuk menentukan pemenang kala itu.

Suasana pesta sudah terasa mengingat Brasil sebelumnya tampil perkasa dengan menggilas Swedia 7-1 dan Spanyol 6-1, sementara Uruguay hanya menang tipis 3-2 atas Swedia dan ditahan imbang Spanyol 2-2. Hasil tersebut membuat Brasil hanya perlu bermain imbang untuk mengangkat tropi juara. .

Begitu yakinnya mereka akan kemenangan, bahkan Presiden FIFA Jules Rimet dan pendiri Piala Dunia, dikabarkan sudah menyiapkan pidato untuk menyambut sukses Brasil.

Tapi apa yang terjadi di lapangan sungguh di luar dugaan.

Pada pertandingan terakhir Brasil mencetak gol lebih dulu pada menit ke-47. Tapi keunggulan tersebut tidak bertahan lama karena pada menit ke-66, pemain sayap Uruguay Juan Schiaffino mencetak gol untuk menyamakan skor menjadi 1-1.

Malapetaka bagi tuan rumah terjadi pada menit ke-79 melalui Ghiggia yang membangun serangan dari kanan kotak penalti.

Bola tendangan Ghiggia sempat membentur tiang gawang, tapi bola kemudian melenceng masuk gawang dan mengubah skor jadi 2-1 untuk keunggulan Uruguay.

Sekitar 200.000 penonton di stadion pun bungkam. Ghiggia disambut sebagai pahlawan di Uruguay. Tapi dia meninggalkan tragedi nasional dengan efek psikologis yang hebat di Basil. 


Dosa Kiper

Adalah Moacir Barbosa, penjaga gawang Brasil yang paling menderita seumur hidup akibat kekalahan tragis itu. Dialah orang yang dianggap paling bertanggung jawab karena gagal menahan dua gol lawan.

Yang paling menyedihkan adalah sikap rasis yang diterima karena Barbosa kebetulan berkulit hitam dan menjadi cemoohan pendukung lawan.

Meski sebagian pemain bola Brasil yang dikagumi pada 1950-an berkulit hitam seperti Didi dan Leonidas da Silva, tampaknya masyarakat Brasil menganggap kesalahan Barbosa ibarat dosa yang tak terampuni sehingga dia harus terus menerus mengalami kecaman dan sikap rasis.

"Menurut hukum di Brasil, hukuman maksimal adalah 30 tahun, tapi hukuman kepada saya sudah berlangsung selama 50 tahun," kata Barbosa.

Barbosa menyampaikan pernyataan itu karena kecewa gara-gara ditolak saat ingin menemui anggota tim nasional pada 1994.

Ketika itu, ia bermaksud menemui kiper Claudio Taffarel untuk sekedar memberikan semangat sebelum menghadapi Uruguay pada pertandingan babak kualifikasi.

Tapi niat tersebut ditolak pelatih Mario Zagallo yang percaya pada tahyul karena kehadiran Barbosa akan membawa sial.

Alex Bellos, seorang pengarang dan ahli sepak bola Inggris, mengatakan bahwa kekalahan tersebut terasa menyakitkan karena sepak bola sudah tidak bisa dilepaskan dari identitas masyarakat Brasil dan bahkan dianggap sebagai alat pemersatu bangsa.

Setelah 64 tahun, Brasil kembali mendapat kesempatan menjadi tuan rumah pesta sepak bola empat tahunan yang diikuti 32 negara itu dan sekaligus mencoba untuk menghapus kenangan pahit tersebut.

Tapi sebagian ada yang berpendapat bahwa jika Brasil kembali gagal, maka itu juga akan memberikan dampak positif bagi dunia sepak bola negara itu.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh parlemen Brasil mengungkapkan bahwa pemain terbaik telah dijual ke Eropa yang hanya memperkaya segelintir orang dan sebaliknya membuat klub justru jatuh bangkrut.

Di Piala Dunia 2014 yang berlangsung saat ini, tuan rumah Brasil melangkah ke babak 16 besar setelah tampil sebagai juara Grup A, untuk selanjutnya menghadapi Chile di Belo Horizonte pada 28 Juni mendatang.

Seperti yang disampaikan mantan bintang tim nasional Brasil Socrates, tragedi kekalahan dari Uruguay yang dikenal dengan sebutan "Maracanazo" itu akan terus membayangi para pemain sekarang.

Bagi orang asing, sejarah Maracanazo dan dampak psikologisnya terhadap masyarakat Brasil menunjukkan arti penting Piala Dunia dan peran Brasil sebagai tuan rumah.

Siapa pun yang nanti tampil sebagai juara, turnamen tersebut tetap akan memberikan banyak simbol dan itulah yang membuat Piala Dunia menjadi menarik.

Pewarta: Atman Ahdiat
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014